Kamis, 24 Maret 2011

Depresi Pasca Stroke

Kejadian stroke selalu mengingatkan saya kepada kematian paman saya akibat serangan ini. Usianya belum mencapai 50 tahun ketika serangan stroke berdarah datang untuk pertama kalinya. Ia mengalami lumpuh bagian tubuh sebelah kanan. Setelah kejadian ini ia banyak murung. Wajar saja, sebagai seorang pedagang yang biasanya berkutat di pasar, hari-hari setelah serangan stroke yang banyak dihabiskan di rumah membuatnya seperti tanpa daya.
Program rehabilitasi medik yang direncanakan pun kadang tidak dipenuhi dengan baik. Rasa malas membuat ia lebih banyak diam di dalam kamar atau hanya sekedar duduk menonton televisi. Nafsu makannya pun menurun drastis dan berakibat pada penurunan berat badannya. Ia juga malas untuk makan obat-obat yang diberikan oleh dokter untuk mencegah keberulangan strokenya. Sampai suatu saat paman saya ini kembali tidak sadarkan diri akibat serangan stroke berdarah kedua kalinya. Ia tidak pernah sadar kembali sampai ajal menjemput.
Sampai saat ini saya seringkali bertanya-tanya, apakah yang dialami paman saya itu adalah gejala depresi pasca stroke yang banyak terjadi setelah serangan stroke. Maklum saja saat itu saya baru saja tahun kedua di fakultas kedokteran. Tahun di mana masih banyak belajar tentang ilmu dasar kedokteran dan belum menyentuh segi klinis apalagi bidang neuropsikiatri. Namun gejala seperti cerita di atas memang banyak dialami oleh para penderita stroke.

Stroke dan Depresi
Stroke sendiri merupakan suatu kumpulan gejala gangguan otak yang terjadi akibat gangguan sirkulasi darah di otak. Stroke dapat dibedakan menjadi stroke berdarah dan tidak berdarah. Penyakit ini merupakan penyebab kematian ketiga di dunia dan di Indonesia stroke juga merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama. Faktor resiko stroke adalah umur, jenis kelamin, suku bangsa, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus atau penyakit gula, faktor keturunan, kegemukan, diet yang salah, hiperkolesterolemia, merokok dan kurangnya aktivitas fisik.
Stroke sebenarnya dapat terjadi pada siapa saja dan di umur berapapun tetapi tiga perempat dari penderita stroke adalah rata-rata berusia di atas 65 tahun atau lebih. Kenyataan di lapangan saat ini, terjadi suatu fenomena bahwa stroke terjadi pada rerata umur yang lebih muda yaitu sekitar umur empat puluhan dan lima puluhan. Data di Amerika mengatakan bahwa sekitar 10-27% dari 600.000 penderita stroke didiagnosis menderita depresi berat dalam waktu setahun sejak awal mengalami stroke. Sebagai tambahan 15 sampai 40% mengalami beberapa gejala depresi dalam dua bulan pertama setelah stroke.
Depresi sendiri dapat mengenai siapa saja, namun orang dengan penyakit serius seperti stroke merupakan salah satu faktor risiko yang berpengaruh. Suatu diagnosis dan terapi depresi yang tepat pada pasien stroke dapat memperbaiki penyakit strokenya sendiri dengan meningkatkan status medisnya, meningkatkan kualitas hidupnya dan mengurangi kesakitan dan ketidakberdayaannya. Pengobatan depresi juga dapat memperpendek proses rehabilitasi yang akhirnya menuju percepatan dari proses penyembuhan. Proses ini juga akan mengurangi biaya perawatan yang dikeluarkan dalam pengobatan pasien stroke.
Keparahan dari depresi yang mengikuti stroke ditentukan juga oleh beberapa faktor antara lain lokasi dari lesi di otak, adanya riwayat keluarga yang mengalami depresi dan fungsi sosial sebelum terserang stroke. Pasien yang selamat dari serangan stroke namun menderita depresi terutama depresi berat biasanya akan lebih sulit diminta kepatuhannya dalam berobat, pasien juga menjadi lebih mudah marah dan tersinggung serta dapat berubah kepribadiannya.
Sayangnya terkadang depresi pasca stroke seringkali tidak terdiagnosis atau dianggap sebagai reaksi yang tidak terelakkan dari serangan stroke. Seharusnya depresi dilihat sebagai suatu hal yang tidak wajar dan ditatalaksana secara optimal bersamaan dengan tatalaksana untuk strokenya.
Depresi pada stroke terjadi karena dua faktor. Faktor yang pertama adalah pada penderita stroke terjadi sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak yang menyebabkan jalur komunikasi ke daerah otak tersebut menjadi terhambat. Kita ketahui bahwa otak terdiri dari beberapa bagian yang tugasnya bermacam, macam. Yang biasanya terkena pada pasien stroke adalah bagian otak yang mengatur fungsi perasaan dan gerakan pasien sehingga yang terlihat pada diri penderita stroke adalah kesulitan dalam melakukan gerakan akibat lumpuhnya tubuh sebagian dan gangguan suasana perasaan dan tingkah laku.
Selain dari adanya bagian otak yang mengatur pusat perasaan yang terkena, depresi pada pasien stroke juga disebabkan karena adanya ketidakmampuan pasien dalam melakukan sesuatu yang biasanya dikerjakan sebelum terkena stroke. Hal ini terkadang menyebabkan pasien menjadi merasa dirinya tidak berguna lagi karena banyaknya keterbatasan yang ada dalam diri pasien akibat penyakitnya itu.

Gejala Depresi Pasca Stroke
Secara umum gejala depresi pada pasien stroke sama dengan depresi pada kasus non stroke. Beberapa keadaan di bawah ini dapat ditemukan yaitu : perasaan yang depresif, kehilangan minat dan rasa senang yang bermakna pada hampir semua aktivitas sehari-hari, perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang tidak sesuai dan berlebihan, kehilangan kemampuan untuk berpikir dan berkonsentrasi, atau kesulitan membuat pilihan.
Pasien depresi juga sering mengalami kehilangan berat badan yang bermakna tanpa diet (penurunan berat badan lebih dari 5% berat badan dalam sebulan), berkurangnya nafsu makan hampir setiap hari, insomnia atau hipersomnia, malas melakukan sesuatu, mudah merasa lelah atau kehilangan energi, pemikiran yang terus menerus tentang kematian (bukan hanya ketakutan akan mati) juga munculnya ide-ide bunuh diri yang berulang kali . Secara klinis diagnosis gangguan depresi dipenuhi bila 5 dari gejala di atas dialami oleh pasien dan telah berlangsung sekurang-kurangnya dua minggu

Tatalaksana Depresi Pasca Stroke
Tatalaksana depresi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tatalaksana stroke secara keseluruhan. Pemakaian obat antidepresan secara umum merupakan pilihan yang tepat dan dapat ditoleransi dan aman bagi pasien-pasien stroke. Penggunaan obat antidepresan telah terbukti dapat menurunkan angka kematian dari pasien depresi pasca stroke. Penelitian lain mengatakan pada pasien yang menerima pengobatan aktif dengan antidepresan memiliki kecenderungan untuk selamat dari penyakitnya.
Selain dengan penggunaan obat juga diperlukan suatu upaya psikoterapi individu, terapi keluarga, dan terapi kelompok yang dapat diberikan kepada pasien stroke. Perjalanan penyakit yang kronis, dan perawatan di rumah sakit yang berulang dapat menimbulkan gangguan emosional sehingga pasien memerlukan tempat untuk bicara, dukungan keluarga dan toleransi terhadap ketidakmampuannya dan ketergantungannya. Psikiater dapat memberikan terapi suportif seperti mengangkat kembali harga diri pasien yang menurun. Fungsi keluarga juga memegang peranan penting. Kritikan lingkungan atau lingkungan yang terlalu mencampuri privasi pasien dapat memperlambat penyembuhan. Perbaikan atau pengurangan perawatan di rumah sakit tergantung dari kemampuan keluarga untuk mengendalikan ekspresi emosional yang berlebihan.
Terapi keluarga merupakan komponen perencanaan terapi yang komprehensif pada pasien gangguan perasaan pascastroke. Tujuan terapi keluarga adalah untuk mengurangi kesulitan anggota keluarga dalam berhubungan dengan pasien. Selain itu pula dapat dilakukan terapi kelompok dimana pasien bersama-sama dengan pasien stroke yang lain berkumpul dan difasilitasi oleh seorang terapis. Tujuan terapi kelompok adalah untuk mengurangi isolasi dan mendorong hubungan interpersonal. Terapi ini dapat memperbaiki harga diri, orientasi, tingkah laku, pemecahan masalah, mengurangi depresi dan ansietas serta memperbaiki adaptasi terhadap ketidakmampuan fisik penderita stroke. Peranan keluarga maupun pengertian dari penderita sendiri mengenai stroke akan mempengaruhi perjalanan penyakit. Pengertian tentang serangan stroke yang tiba-tiba dan kondisi penyembuhan yang terjadi sangat lambat perlu diterima dengan lapang dada oleh penderita dan keluarganya. Fisioterapi, psikoterapi dan terapi kognitif harus direncanakan dengan baik untuk mendapatkan hasil akhir yang optimal. Tentunya diperlukan penanganan yang menyeluruh di segala bidang dan kerjasama yang baik di antara para dokter yang merawat pasien. Kerjasama antara psikiater, dokter spesialis saraf dan rehabilitasi medik merupakan suatu hal yang ideal dalam penanganan pasien stroke terutama yang mengalami gangguan depresi.
Jika hal tersebut dilakukan dengan baik, niscaya pasien stroke dapat meningkatkan kualitas hidupnya kembali dan mencegah keberulangan serangan stroke yang dapat menimbulkan kecacatan yang lebih parah.

1 komentar:

  1. Trimakasih dok artikelnya....kalo boleh tau ada referensi buku tdk tentang faktor penyebab pasien stroke depresi? trimakasih

    BalasHapus