Kamis, 24 Maret 2011

Depresi Pasca Stroke

Kejadian stroke selalu mengingatkan saya kepada kematian paman saya akibat serangan ini. Usianya belum mencapai 50 tahun ketika serangan stroke berdarah datang untuk pertama kalinya. Ia mengalami lumpuh bagian tubuh sebelah kanan. Setelah kejadian ini ia banyak murung. Wajar saja, sebagai seorang pedagang yang biasanya berkutat di pasar, hari-hari setelah serangan stroke yang banyak dihabiskan di rumah membuatnya seperti tanpa daya.
Program rehabilitasi medik yang direncanakan pun kadang tidak dipenuhi dengan baik. Rasa malas membuat ia lebih banyak diam di dalam kamar atau hanya sekedar duduk menonton televisi. Nafsu makannya pun menurun drastis dan berakibat pada penurunan berat badannya. Ia juga malas untuk makan obat-obat yang diberikan oleh dokter untuk mencegah keberulangan strokenya. Sampai suatu saat paman saya ini kembali tidak sadarkan diri akibat serangan stroke berdarah kedua kalinya. Ia tidak pernah sadar kembali sampai ajal menjemput.
Sampai saat ini saya seringkali bertanya-tanya, apakah yang dialami paman saya itu adalah gejala depresi pasca stroke yang banyak terjadi setelah serangan stroke. Maklum saja saat itu saya baru saja tahun kedua di fakultas kedokteran. Tahun di mana masih banyak belajar tentang ilmu dasar kedokteran dan belum menyentuh segi klinis apalagi bidang neuropsikiatri. Namun gejala seperti cerita di atas memang banyak dialami oleh para penderita stroke.

Stroke dan Depresi
Stroke sendiri merupakan suatu kumpulan gejala gangguan otak yang terjadi akibat gangguan sirkulasi darah di otak. Stroke dapat dibedakan menjadi stroke berdarah dan tidak berdarah. Penyakit ini merupakan penyebab kematian ketiga di dunia dan di Indonesia stroke juga merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama. Faktor resiko stroke adalah umur, jenis kelamin, suku bangsa, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus atau penyakit gula, faktor keturunan, kegemukan, diet yang salah, hiperkolesterolemia, merokok dan kurangnya aktivitas fisik.
Stroke sebenarnya dapat terjadi pada siapa saja dan di umur berapapun tetapi tiga perempat dari penderita stroke adalah rata-rata berusia di atas 65 tahun atau lebih. Kenyataan di lapangan saat ini, terjadi suatu fenomena bahwa stroke terjadi pada rerata umur yang lebih muda yaitu sekitar umur empat puluhan dan lima puluhan. Data di Amerika mengatakan bahwa sekitar 10-27% dari 600.000 penderita stroke didiagnosis menderita depresi berat dalam waktu setahun sejak awal mengalami stroke. Sebagai tambahan 15 sampai 40% mengalami beberapa gejala depresi dalam dua bulan pertama setelah stroke.
Depresi sendiri dapat mengenai siapa saja, namun orang dengan penyakit serius seperti stroke merupakan salah satu faktor risiko yang berpengaruh. Suatu diagnosis dan terapi depresi yang tepat pada pasien stroke dapat memperbaiki penyakit strokenya sendiri dengan meningkatkan status medisnya, meningkatkan kualitas hidupnya dan mengurangi kesakitan dan ketidakberdayaannya. Pengobatan depresi juga dapat memperpendek proses rehabilitasi yang akhirnya menuju percepatan dari proses penyembuhan. Proses ini juga akan mengurangi biaya perawatan yang dikeluarkan dalam pengobatan pasien stroke.
Keparahan dari depresi yang mengikuti stroke ditentukan juga oleh beberapa faktor antara lain lokasi dari lesi di otak, adanya riwayat keluarga yang mengalami depresi dan fungsi sosial sebelum terserang stroke. Pasien yang selamat dari serangan stroke namun menderita depresi terutama depresi berat biasanya akan lebih sulit diminta kepatuhannya dalam berobat, pasien juga menjadi lebih mudah marah dan tersinggung serta dapat berubah kepribadiannya.
Sayangnya terkadang depresi pasca stroke seringkali tidak terdiagnosis atau dianggap sebagai reaksi yang tidak terelakkan dari serangan stroke. Seharusnya depresi dilihat sebagai suatu hal yang tidak wajar dan ditatalaksana secara optimal bersamaan dengan tatalaksana untuk strokenya.
Depresi pada stroke terjadi karena dua faktor. Faktor yang pertama adalah pada penderita stroke terjadi sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak yang menyebabkan jalur komunikasi ke daerah otak tersebut menjadi terhambat. Kita ketahui bahwa otak terdiri dari beberapa bagian yang tugasnya bermacam, macam. Yang biasanya terkena pada pasien stroke adalah bagian otak yang mengatur fungsi perasaan dan gerakan pasien sehingga yang terlihat pada diri penderita stroke adalah kesulitan dalam melakukan gerakan akibat lumpuhnya tubuh sebagian dan gangguan suasana perasaan dan tingkah laku.
Selain dari adanya bagian otak yang mengatur pusat perasaan yang terkena, depresi pada pasien stroke juga disebabkan karena adanya ketidakmampuan pasien dalam melakukan sesuatu yang biasanya dikerjakan sebelum terkena stroke. Hal ini terkadang menyebabkan pasien menjadi merasa dirinya tidak berguna lagi karena banyaknya keterbatasan yang ada dalam diri pasien akibat penyakitnya itu.

Gejala Depresi Pasca Stroke
Secara umum gejala depresi pada pasien stroke sama dengan depresi pada kasus non stroke. Beberapa keadaan di bawah ini dapat ditemukan yaitu : perasaan yang depresif, kehilangan minat dan rasa senang yang bermakna pada hampir semua aktivitas sehari-hari, perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang tidak sesuai dan berlebihan, kehilangan kemampuan untuk berpikir dan berkonsentrasi, atau kesulitan membuat pilihan.
Pasien depresi juga sering mengalami kehilangan berat badan yang bermakna tanpa diet (penurunan berat badan lebih dari 5% berat badan dalam sebulan), berkurangnya nafsu makan hampir setiap hari, insomnia atau hipersomnia, malas melakukan sesuatu, mudah merasa lelah atau kehilangan energi, pemikiran yang terus menerus tentang kematian (bukan hanya ketakutan akan mati) juga munculnya ide-ide bunuh diri yang berulang kali . Secara klinis diagnosis gangguan depresi dipenuhi bila 5 dari gejala di atas dialami oleh pasien dan telah berlangsung sekurang-kurangnya dua minggu

Tatalaksana Depresi Pasca Stroke
Tatalaksana depresi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tatalaksana stroke secara keseluruhan. Pemakaian obat antidepresan secara umum merupakan pilihan yang tepat dan dapat ditoleransi dan aman bagi pasien-pasien stroke. Penggunaan obat antidepresan telah terbukti dapat menurunkan angka kematian dari pasien depresi pasca stroke. Penelitian lain mengatakan pada pasien yang menerima pengobatan aktif dengan antidepresan memiliki kecenderungan untuk selamat dari penyakitnya.
Selain dengan penggunaan obat juga diperlukan suatu upaya psikoterapi individu, terapi keluarga, dan terapi kelompok yang dapat diberikan kepada pasien stroke. Perjalanan penyakit yang kronis, dan perawatan di rumah sakit yang berulang dapat menimbulkan gangguan emosional sehingga pasien memerlukan tempat untuk bicara, dukungan keluarga dan toleransi terhadap ketidakmampuannya dan ketergantungannya. Psikiater dapat memberikan terapi suportif seperti mengangkat kembali harga diri pasien yang menurun. Fungsi keluarga juga memegang peranan penting. Kritikan lingkungan atau lingkungan yang terlalu mencampuri privasi pasien dapat memperlambat penyembuhan. Perbaikan atau pengurangan perawatan di rumah sakit tergantung dari kemampuan keluarga untuk mengendalikan ekspresi emosional yang berlebihan.
Terapi keluarga merupakan komponen perencanaan terapi yang komprehensif pada pasien gangguan perasaan pascastroke. Tujuan terapi keluarga adalah untuk mengurangi kesulitan anggota keluarga dalam berhubungan dengan pasien. Selain itu pula dapat dilakukan terapi kelompok dimana pasien bersama-sama dengan pasien stroke yang lain berkumpul dan difasilitasi oleh seorang terapis. Tujuan terapi kelompok adalah untuk mengurangi isolasi dan mendorong hubungan interpersonal. Terapi ini dapat memperbaiki harga diri, orientasi, tingkah laku, pemecahan masalah, mengurangi depresi dan ansietas serta memperbaiki adaptasi terhadap ketidakmampuan fisik penderita stroke. Peranan keluarga maupun pengertian dari penderita sendiri mengenai stroke akan mempengaruhi perjalanan penyakit. Pengertian tentang serangan stroke yang tiba-tiba dan kondisi penyembuhan yang terjadi sangat lambat perlu diterima dengan lapang dada oleh penderita dan keluarganya. Fisioterapi, psikoterapi dan terapi kognitif harus direncanakan dengan baik untuk mendapatkan hasil akhir yang optimal. Tentunya diperlukan penanganan yang menyeluruh di segala bidang dan kerjasama yang baik di antara para dokter yang merawat pasien. Kerjasama antara psikiater, dokter spesialis saraf dan rehabilitasi medik merupakan suatu hal yang ideal dalam penanganan pasien stroke terutama yang mengalami gangguan depresi.
Jika hal tersebut dilakukan dengan baik, niscaya pasien stroke dapat meningkatkan kualitas hidupnya kembali dan mencegah keberulangan serangan stroke yang dapat menimbulkan kecacatan yang lebih parah.

Selasa, 22 Maret 2011

Sulit Tidur Alias Insomnia

Apakah anda pernah mengalami sulit tidur ? Saya pernah dan rasanya memang tidak nyaman sekali. Pagi harinya kita tidak bisa beraktifitas maksimal dan merasa badan ini ada yang salah. Walaupun hanya sehari saya merasakan tidak bisa tidur, namun perasaan tersebut sangat menyiksa. Tidak heran saya sangat memahami penderitaan para pasien yang mengeluh sulit tidur bahkan hampir berminggu-minggu lamanya.

Awal Gangguan Jiwa
Sulit tidur walapun kesannya sepele namun dalam praktek saya sehari-hari seringkali merupakan pertanda adanya suatu kondisi gangguan kejiwaan yang mendasarinya. Hampir jarang saya temukan sulit tidur berdiri sendiri sebagai suatu gangguan yang tanpa disertai gangguan kejiwaan. Biasanya orang yang mengeluh sulit tidur kebanyakan mengalami gangguan kejiwaan di antaranya adalah Gangguan Kecemasan, Gangguan Depresi, Demensia dan Gangguan Psikotik (paling banyak Skizofrenia).
Pada pasien yang mengalami gangguan kecemasan, biasanya pasien mengeluh sulit untuk memulai tidur. Rasanya sangat sulit untuk memejamkan mata karena pikiran yang terus ke sana ke mari. Jika tidur pun biasanya orang ini mengalami bangun di antara tidur-tidurnya dan kesulitan memulai tidur kembali. Gangguan kecemasan termasuk di dalamnya adalah Gangguan Panik, Gangguan Cemas Menyeluruh, Gangguan Cemas Fobia, Gangguan Obsesif Kompulsif dan Gangguan Stres PAsca Trauma.
Pada pasien yang mengalami gangguan depresi termasuk di dalamnya adalah gangguan penyesuaian bisa mengalami kesulitan dalam mempertahankan tidur. Orang depresi biasanya akan lebih cepat bangun di pagi hari. Ada pula yang merasa mengantuk hampir sepanjang hari dan tidak ada gairah, namun jika ditidurkan tidak bisa.
Pasien demensia ataupun orang lanjut usia yang sudah mulai mengalami kepikunan, Kesulitan Tidur sering juga dialami. Ini terkait dengan fungsi reseptor melatonin yang sudah berkurang jumlah dan sensitifitasnya sehingga orang tua banyak yang mengalami kesulitan tidur.

Sulit Tidur Pada Kondisi Fisik
Selain kondisi tidur akibat gangguan jiwa, beberapa penyakit juga sering dihubungkan dengan kesulitan tidur terutama sekali pada pasien-pasien yang mengalami gangguan paru-paru. Tidak heran orang yang mengalami gangguan paru-paru seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang bernapas pun sulit sering mengalami gangguan ini. Pasien dengan gangguan Asma juga sering mengalami hal ini. Selain itu pasien dengan gangguan berkemih yang biasanya pada pasien gangguan Prostat juga sering sulit tidur karena terganggu perasaan ingin kencing. Ada juga pasien kencing manis yang sering mengalami hal ini. Untuk itu kondisi medis fisik seperti ini juga perlu mendapatkan perhatian.

Pengobatan
Untuk mengatasi  gangguan tidur, seseorang pertama kali perlu menganalisis apakah kesehatan tidurnya sudah baik. Hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan tidur antara lain :
1. Tidur pada jam yang relatif sama setiap malamnya
2. Tidak berolahraga berat sebelum tidur
3. Tidak memakan makanan atau minuman yang mengandung kafein (kopi, teh, coklat) sebelum berangkat waktu tidur.
4. Menggunakan pakaian yang bersih
5. Kebersihan tempat tidur dijaga.
6. Tidak membawa barang-barang seperti BB, Handphone atau Laptop/IPad ke ranjang sehingga tidak mengganggu konsentrasi untuk tidur.

Jika hal tersebut sudah dilaksanakan tetapi masih sulit tidur maka ada baiknya memulai pengobatan dengan hal yang paling ringan dulu yaitu dengan menggunakan suplementasi Melatonin. Jika masih sulit tidur juga baru menggunakan obat golongan yang sama dengan Melatonin tapi daya aktiftasnya lebih kuat yaitu Ramelteon.
Jika penggunaan obat ini masih kurang bisa memberikan efek yang baik untuk kualitas tidur maka bisa diberikan obat golongan non-benzodiazepine (bukan obat penenang) yaitu Zolpidem (merek dagang Zolmia dan Stilnox). Penggunaan obat anticemas golongan benzodiazepine seperti Alprazolam dan Nitrazepam tidak disarankan karena dapat menimbulkan ketergantungan dan reaksi putus zat yang tidak nyaman. Pilihlah obat anti insomnia yang dosisnya kecil dan efektifitas baik namun cepat dikeluarkan dari tubuh. Pilihannya adalah Lorazepam dan Clonazepam.
Yang harus selalu diingat adalah bahwa pemakaian obat-obatan tersebut di atas haruslah sesuai dengan petunjuk dokter dan diawasi oleh dokter pemberiannya. Semoga bermanfaat (mbahndi@yahoo.com)

Senin, 21 Maret 2011

Gangguan Panik (Panic Anxiety Disorder)


Toni eksekutif muda usia 35 tahun itu tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar sangat cepat. Saat itu ia sedang berada di jalan menuju kantornya di daerah Sudirman. Ia juga merasakan sesak napas dan perasaan seperti tercekik. Toni menjadi sangat ketakutan akan keadaan ini sampai ia meminggirkan mobilnya. Saat itu ia merasa takut mati sehingga membuatnya ke unit gawat darurat (UGD) sesaat jantungnya sudah mulai terasa berkurang debarannya 10 menit kemudian.
            Di UGD, Toni diperiksa jantung dan laboratorium penunjang lainnya. Hasilnya semua dalam batas normal. Toni kemudian bingung apa yang baru saja dialaminya. dokter menyarankan Toni untuk tidak khawatir karena tidak ditemukan kelainan apa-apa. “Mungkin anda sedang kecapean saja”, kata si dokter menenangkan
Kasus di atas cukup sering ditemukan sebagai salah satu kasus gangguan kesehatan jiwa yang bermanifestasi gejala fisik. Kalangan kesehatan jiwa menyebutnya sebagai serangan panik. Orang yang mengalaminya biasanya mengira bahwa ia terkena serangan jantung karena gejalanya sangat mirip dengan gangguan tersebut. Bedanya adalah dalam durasi waktu, serangan panik biasanya hanya berlangsung paling lama 15 menit saja dan setelah itu terjadi penurunan gejala yang dialami.
Ada beberapa gejala serangan panik yang sering dialami oleh pasien. Gejalanya yang paling sering adalah sebagai berikut ; Jantung berdebar dan peningkatan denyut jantung, berkeringat, badan terasa gemetar atau berguncang, perasaan napas yang pendek, perasaan seperti tercekik, sakit dada atau perasaan tidak nyaman, mual atau merasa tidak enak di perut, merasa pusing, tidak stabil, kepala terasa ringan atau mau pingsan, takut kehilangan kontrol atau menjadi gila, perasaan takut mati, kesemutan atau seperti baal dan rasa seperti terbakar atau kepanasan.
Gangguan panik didiagnosis bila dalam waktu sebulan terakhir telah terjadi lebih dari 3 (tiga) kali serangan panik. Serangan panik ini terjadi tiba-tiba, dan di antara serangan panik tersebut pasien merasa khawatir jika dirinya mengalami keadaan itu lagi (kecemasan antisipasi). Serangan panik ini juga telah mengganggu fungsi pasien sehari-hari baik pribadi dan sosial.

Agorafobia
Jika pasien mengalami serangan panik yang berulang, maka kebanyakan pasien menjadi takut untuk keluar rumah sendirian. Hal ini disebabkan pasien takut bila tiba-tiba saat ia sendiri di luar rumah, serangan panik itu datang lagi dan tidak ada yang menolongnya. Ketakutan tersebut dinamakan agorafobia.
 Agorafobia biasanya juga diikuti oleh penghindaran terhadap situasi yang dapat membuat timbulnya kecemasan pasien. Hal ini yang menyebabkan pasien dengan gangguan panik biasanya takut bila keluar rumah sendiri tanpa ditemani. Pasien juga menjadi malas keluar rumah atau bersosialisasi dengan teman serta kerabat di tempat-tempat terbuka. Apalagi bila ia harus ke tempat seperti itu sendirian. Hal ini tentunya menurunkan kualitas hidup pasien tersebut.

Apa yang dapat dilakukan?
            Kualitas hidup pasien gangguan panik tentunya mengalami penurunan akibat konsekuensi dari penyakitnya. Untuk itu tatalaksana yang tepat dan menyeluruh sangat dibutuhkan agar pasien dapat kembali hidup normal.
            Jika memang dalam pemeriksaan fisik dan penunjang tidak terdapat hasil yang mendukung ke suatu diagnosis penyakit seperti jantung dan tiroid (gondok) maka diagnosis gangguan panik harus segera dipertimbangkan.
            Pemeriksaan fisik dan penunjang yang lengkap penting karena gejala serangan panik seringkali mirip dengan gejala-gejala penyakit yang sering kita temukan dalam praktek seperti penyakit jantung dan gangguan tiroid (gondok). Rujukan ke seroang ahli kesehatan jiwa atau psikiater juga dapat dilakukan demi tegaknya diagnosis dan penatalaksanaan yang segera dan menyeluruh.
            Seperti tatalaksana kebanyakan gangguan kesehatan jiwa, pengobatan gangguan panik juga meliputi pengobatan dengan obat dan psikoterapi. Penggunaan obat untuk gangguan panik telah mendapatkan rekomendasi dari badan obat dan makanan Amerika (FDA) dan juga dari badan pengawasan obat dan makanan (POM) Indonesia.
            Pasien tidak perlu khawatir akan efek ketergantungan terhadap obat yang sering ditakutkan oleh masyarakat bila memakan obat-obat dari ahli kesehatan jiwa. Kerjasama antara dokter dan pasien serta informasi yang akurat dan lengkap akan efek obat serta hal-hal yang menyangkut penggunaannya haruslah diketahui sejak awal berobat.
            Pasien tentunya mempunyai hak untuk bertanya kepada dokter tentang obat yang dimakannya serta efek samping yang mungkin timbul. Tentunya kewajiban dokter untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar obat yang digunakan. Keteraturan kontrol berobat dan kepatuhan akan dosis obat juga akan menghindarkan pasien dari hal-hal yang tidak diinginkan dari penggunaan obat yang tidak tepat.
            Psikoterapi dengan menggunakan teknik terapi kognitif juga sangat diperlukan. Pasien gangguan panik biasanya mempunyai keyakinan yang salah akan penyakitnya. Pasien biasanya sering salah mengintepretasikan sensasi di tubuhnya sebagai tanda awal serangan panik. Informasi tentang serangan panik termasuk penjelasan bahwa ketika serangan panik berlangsung, serangan tersebut terbatas watunya dan tidak mengancam jiwa.
            Latihan relaksasi, pernapasan termasuk meditasi juga mempunyai peran yang sangat baik pada pasien gangguan panik. Hal ini membantu pasien untuk dapat mengontrol pernapasannya dan sedapat mungkin relaks sehingga gejala yang timbul dapat ditangani dengan baik secara mandiri oleh pasien pada saat serangan panik datang
            Semoga penjelasan di atas dapat membantu anda untuk mengenali gejala dan tanda gangguan panik serta cara mengatasinya. Jangan malu untuk berkonsultasi dengan dokter ahli kesehatan jiwa jika mengalami gangguan panik. Salam sehat jiwa.

Gangguan Psikosomatik, Apa Itu ???


Anthony eksekutif muda berusia 34 tahun itu sudah hampir satu tahun merasakan keluhan penyakit yang sering berpindah-pindah. Dia mengeluh merasa pegal-pegal, badannya terasa tidak enak, perut terasa penuh dan mual serta sering merasa seperti keluar keringat dingin.Anthony juga sering merasa dadanya sesak bila bernapas.
Anthony bercerita bahwa ia pernah berobat di bagian penyakit dalam dan telah dilakukan beberapa tes bahkan sampai melakukan CT-Scan dan MRI namun dinyatakan hasilnya semua dalam batas normal. Anthony tentunya tidak percaya hal tersebut karena dia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Teman-temannya mengatakan mungkin dia stres dengan pekerjaan, tapi Anthony selalu menyangkal hal itu.
Oleh sejawat dokter ahli penyakit dalam, Anthony disarankan untuk datang ke psikiater khususnya yang bergerak di bidang psikosomatik karena mungkin ada problem psikis yang melatarbelakangi keluhannya. Anthony sempat kesal karena saran itu, dia berkata ”Memangnya saya gila Dok?!”. Hal itu dikarenakan dia merasa kehidupannya baik-baik saja. Bilapun ada masalah, Anthony memang cenderung lebih menyimpannya sendiri dan tidak pernah membicarakan dengan orang lain bahkan dengan istrinya sekalipun. ”Saya memang biasa menyimpan apapun kekesalan dan kemarahan saya sendiri” ujarnya kepada dokter penyakit dalamnya.

Keluhan Psikosomatik
Kasus seperti di atas sebenarnya sering ditemukan di praktek dokter umum dan spesialis. Pasien dengan keluhan fisik yang sangat banyak dan sering berganti-ganti setiap minggunya, biasanya datang pertama kali ke tempat praktek dokter umum atau dokter spesialis penyakit dalam.
Dokter biasanya akan memeriksa fisik pasien dengan keluhan seperti ini dan menyarankan beberapa tes penunjang. Tapi hampir tidak pernah ditemukan kelainan fisik yang mendasari keluhannya. Begitu juga dengan hasil tes penunjang seperti laboratorium, radiologi ( rontgen, CT-Scan atau MRI ), atau bahkan sampai endoskopi, tidak ditemukan kelainan pada pasien.
Bila sudah begini biasanya dokter umum atau spesialis lain akan merujuk pasien dengan keluhan seperti ini untuk datang ke psikiatersupaya dapat dilakukan evaluasi lebih lanjut. Namun tentunya tidak mudah meminta pasien untuk menuruti saran ini. Beberapa di antaranya malah merasa bahwa dokternya tidak mampu mengobati dirinya. Selanjutnya pasien akan mencari dokter lain untuk mencoba mengobati ”penyakitnya” ini. Tidak heran pasien biasanya memiliki rekam medik yang sangat tebal dan mempunyai beberapa dokter sekaligus.      

Gangguan Kejiwaan
Dalam bidang kesehatan jiwa, gangguan psikosomatik sebenarnya termasuk dalam bagian gangguan somatoform . Gangguan ini ditandai dengan adanya suatu keluhan fisik yang berulang yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medis, meskipun sudah berkali-kali dilakukan dan hasilnya normal. Setidaknya pun ada gangguan fisik maka gangguan tersebut berbeda atau tidak dapat menjelaskan keluhan yang dikemukakan pasien.            
Biasanya gejala ini ada hubungannya dengan konflik dan perkembangan psikologis dari pasien, namun pasien biasanya menolak gagasan adanya hubungan antara penyakit yang diderita dengan problem atau konflik kehidupannya. Bahkan bila ditemukan adanya tanda depresi atau kecemasan pada pasien, pasien tetap menolak adanya hubungan tersebut.
Gangguan ini juga sering ditimbulkan pada pasien dengan gangguan kecemasan yang sangat seperti pada gangguan panik. Gejala jantung berdebar sangat sering dikeluhkan oleh pasien gangguan panik. Selain itu juga sering mengalami sesak napas. Kondisi ini juga meresahkan pasien karena ketika diperiksa ternyata tdak terdapat kelainan dalam organ tubuh pasien.

Apa Yang Harus Dilakukan ?
            Pasien atau keluarga pasien yang mengalami hal ini dapat segera datang untuk bertemu dengan psikiater. Penjelasan tentang bagaimana mekanisme stres berpengaruh ke fungsi tubuh akan membantu pasien dalam memahami gangguan Psikosomatik yang dideritanya saat ini. Walaupun dalam pemeriksaan klinis dan penunjang tidak didapatkan keluhan, pasien dengan keluhan ini mengalami suatu disfungsi di sistem saraf pusat terutama di sistem saraf otonom dan jaras hipotalamus pituitary adrenal (HPA Axis). Kondisi ini telah diteliti oleh ilmuwan di Amerika Serikat dan memang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan secara umum.
            Pengobatan dengan pendekatan psikoterapi dan penggunaan obat dengan dosis yang tepat dan dalam jangka waktu tertentu akan membantu pasien menghadapi keadaan gangguan Psikosomatiknya dan akhirnya dapat berfungsi secara baik kembali.